Di Riau, Bengkalis dan Mandau, kawasan seputar Pematang Pudu lebih dikenal dengan nama Duri. Ini merujuk pada sebuah ladang minyak raksasa yang sejak berpuluh tahun lalu dalam penguasaan raksasa minyak Amerika Serikat Caltex. Chevron Pasifik Indonesia adalah entitas baru gabungan Caltex dan Texaco Inc., raksasa minyak Amerika lainnya.
Chevron Pacific adalah produsen minyak terbesar Indonesia yang 100% sahamnya milik Chevron Corporation, gergasi Amerika Serikat. Beroperasi sejak 1985, di ladang minyak Duri Field kini memiliki 185 sumur minyak produksi.
Pada Kamis, 5 April 2012 dalam laporan situs Okezone, PT PLN (Persero) mengaku tidak bisa berkutik jika pemerintah tidak memberikan dana cadangan risiko fiskal energi sebesar Rp23 triliun yang masuk dalam APBNP 2012. Pasalnya, dana subsidi listrik yang disetujui DPR dan pemerintah sebesar Rp65 triliun tidak cukup menutup tingginya harga BBM.
"Untuk operasional (subsidi Rp65 triliun) cukup dan ada sisa untuk bayar utang tetapi hanya bisa bayar sepertiga, makanya kita bilang enggak cukup untuk bayar utang, jadi tolong ditambah untuk bayar utang," ungkap Direktur Utama PLN Nur Pamuji ditemui di Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, Kamis (5/4/2012).
Sebenarnya siapa yang diuntungkan dari subsidi dan utang ini? 2011, atas nama solidaritas dan keprihatinan, PT Perusahaan Gas Negara pernah meminta pemerintah agar mengizinkan perusahaan kembali memenuhi komitmen suplai gas ke PT Perusahaan Listrik Negara. Satu tahun terakhir, perusahaan memangkas suplai ke PLN 100 juta metric standard cubic feet (mmscfd) dan mengalihkannya ke PT Chevron Pacific Indonesia, sesuai keinginan Jakarta.
Seperti PLN, Perusahaan Gas adalah perusahaan negara, pemilik dan pengelola jaringan pipa gas 5.800 kilometer di seluruh Indonesia. Lewat kontrak pembelian gas jangka panjang, perusahaan mengalirkan gas dari berbagai ladang gas di Jawa dan Sumatera, lalu menyalurkannya ke pelanggan tetap perusahaan, utamanya kalangan industri. Pipa gas perusahaan membentang dari Medan hingga Jawa Barat, dari Sumatera Selatan hingga Singapura.
Per Desember 2009, pemerintah menguasai 56,98% saham Perusahaan Gas. Saham sisanya diperdagangkan di bursa efek. Asing menguasai 73% lebih saham perusahaan yang diperjualbelikan di bursa efek.
Kata Direktur Perusahaan Gas, Hendi P. Santoso waktu itu, izin pemerintah bakal meringankan beban PLN. “Jika 100 juta metric standard cubic feet (mmscfd) gas bisa dialirkan ke PLN, perusahaan bisa mengurangi pemakaian minyak diesel 727.000 kiloliter dan pemerintah bisa berhemat Rp 5,5 triliun tahun ini,” kata Hendi ke Komisi VII DPR, seperti dikutip The Jakarta Post.
Permintaan ‘mulia’ Perusahaan Gas ini mimpi buruk bagi Jakarta. Setahun terakhir, pemerintah memaksa perusahaan membelokkan suplai gas untuk PLN ke Chevron Pacific agar yang terakhir bisa menggenjot produksi minyak mentah – dan Jakarta mendapat tambahan devisa.
Chevron Pasific menyumbang 40% dari total produksi minyak nasional. Lebih dari seperempat total produksi minyak perusahaan, mencapai rata-rata 485.000 barel per hari pada 2009, berpusat dari ladang minyak Duri di Riau.
Minyak Duri yang terbaik kualitasnya di Indonesia, harganya paling tinggi dan kerap menjadi acuan harga minyak mentah dalam negeri.
Di Duri sejak 1985, Chevron Pasific menggunakan teknologi steamflood. Gas bertekanan tinggi disemprotkan ke perut bumi demi memancing minyak mentah. Perusahaan berdalih teknologi ini – penggunannya di Duri terbesar di seluruh dunia – pas dengan ‘kondisi’ minyak di perut bumi Duri, ketimbang teknologi pengeboran menggunakan air (lebih murah) atau penyuntikan bahan kimia (jauh lebih mahal).
Pada 2009, teknologi injeksi gas digunakan pada 80% sumur minyak di Duri.
Chevron Pasific sejauh ini mengandalkan suplai gas dari Grissik, ladang gas di Sumatera Selatan yang dioperasikan oleh ConocoPhillips Indonesia, anak perusahaan raksasa perminyakan Amerika, ConocoPhillips. Di luar untuk kepentingan pengeboran, Chevron Pasific juga menggunakan gas dari ConocoPhillips untuk pembangkit listrik sendiri.
Gas dari Grissik itu dialirkan dalam jaringan pipa gas 536 kilometer hingga ke Duri. Pemilik dan pengelola jaringan pipa gas Grissik-Duri adalah PT Transportasi Gas Indonesia, anak Perusahaan Gas.
Ada cerita lain di sini, sebenarnya. Pada 1995, Perusahaan Gas mengambil utang US$ 218 juta dari konsorsium ADB, Japan Bank for International Cooperation, dan European Investment Bank. Perusahaan menggunakan utang itu untuk pembangunan jalur pipa gas Grissik-Duri dan satu lagi jalur pipa gas Grissik-Batam.
Tapi utang itu – meski nilanya tak seberapa besar – punya syarat yang membunuh. ADB mengharuskan Perusahaan Gas mengubah status hukum dari perusahaan milik negara menjadi perusahaan terbatas. ADB juga mewajibkan Perusahaan Gas membuat anak perusahaan di mana investor asing boleh menguasai 20%-40% saham.
Pada 1996, Perusahaan Gas mengubah status hukum dan mengucurlah pinjaman dari konsorsium ADB. Dua tahun setelahnya, pada 1998, perusahaan merampungkan pembangunan jalur Grissik-Duri. Pembangunan jalur pipa Grissik-Batam belakangan berhenti karena krisis moneter.
Perusahaan Gas lalu meminta perpanjangan tempo dengan menjanjikan pembangunan jalur pipa hingga Singapura. Konsorsium ADB setuju dan, sebagai konsekuensi dari perjanjian, pada 2002, Perusahaan Gas resmi menjual 40% sahamnya di Transportasi Gas ke Transasia Pipeline Company Pvt. Ltd.
Transasia Pipeline adalah patungan empat perusahaan asing: ConocoPhillips Indonesia (35%), Singapore Petroleum Company Limited (15%), Talisman Energy (15%) dan Petronas (35%).
Lepas penjualan itu, saham Perusahaan Gas di Transportasi Gas tersisa 59,87%. Saham lebihnya, 0,13% milik yayasan pegawai Perusahaan Gas.
Kembali ke soal suplai gas ke Duri. Pada Februari 2010, pemerintah meminta Perusahaan Gas mengalihkan suplai gas yang semestinya ke PLN ke Chevron di Duri. Pemerintah berdalih kebijakan itu untuk membantu Chevron menggenjot produksi dan pada gilirannya memperbesar peluang penerimaan devisa negara.
Keputusan ini kabar baik bagi Chevron Pacific yang menikmati gas murah, jauh di bawah harga ekspor. Tapi bagi PLN, keputusan Jakarta itu tak ubahnya sembilu. Sejak pengalihan gas ke Chevron Pacific, PLN praktis berdarah-darah. Perusahaan harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembelian minyak diesel yang harganya terus melambung.
Pemerintah jelas terus terjepit. Di satu sisi, tawaran Perusahaan Gas membuka peluang penghematan Rp 5,5 triliun. (Angka yang besar bila mengingat dari rencana penghentian penjualan bensin bersubsidi, pemerintah ‘hanya’ menargetkan penghematan subsidi Rp 3,8 triliun). Di sisi lain, penawaran itu menghidupkan bayang-bayang susutnya devisa.
Ada pilihan lain, sebenarnya, dan ini relatif lebih ‘adil’. Alternatif termasuk membiarkan Chevron Pacific mencari sendiri suplai gas dari berbagai ladang gas di Sumatera. Gas banyak, persoalannya tinggal kemauan Chevron Pacific. Perusahaan menolak gagasan itu karena masih berharap Jakarta memberi fasilitas berupa ‘gas murah’ Perusahaan Negara untuk PLN.
Tapi, dalam sebuah laporan berita yang dirilis oleh detikFinance dikatakan, dalam 12 tahun ke depan cadangan minyak Indonesia bakal ludes alias habis. Saat ini ternyata jumlah cadangan minyak tinggal 4 miliar barel. Hal ini disampaikan oleh Wakil Direktur Reform Miner Institute, Komaidi Notonegoro, Kamis (5/4/2012).
"Cadangan (terbukti) minyak kita tinggal 4,3 miliar barel. Dan itu akan habis dalam 10-12 tahun mendatang," tegas Komaidi.
Menyikapi masalah ini, Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) Gde Pradnyana mengatakan, cadangan minyak defisit karena lebih banyak yang disedot ketimbang penemuan cadangan baru.
"Di 2010, angka cadangan minyak kita itu 4,3 miliar barel dan kita sedot tiap tahun 330 juta barel (900 ribu-1 juta barel per hari). Maka di 2011 cadangan kita terbukti tinggal 4 miliar barel," ujar Gde,Sabtu (6/4/2012).
Selamat untuk Chevron Pacific, sebentar lagi kalian pasti hengkang dari Indonesia setelah puas menyedot habis semua energi di perut bumi Indonesia. Dan beginilah "hebatnya" saat pejabat pemerintah membuta hati pada kemampuan dan kehebatan anak-anak bangsa. Pada kian banyaknya aset vital dan menguntungkan negara yang digadaikan ke tangan gergasi asing.
sumber
Chevron Pacific adalah produsen minyak terbesar Indonesia yang 100% sahamnya milik Chevron Corporation, gergasi Amerika Serikat. Beroperasi sejak 1985, di ladang minyak Duri Field kini memiliki 185 sumur minyak produksi.
Pada Kamis, 5 April 2012 dalam laporan situs Okezone, PT PLN (Persero) mengaku tidak bisa berkutik jika pemerintah tidak memberikan dana cadangan risiko fiskal energi sebesar Rp23 triliun yang masuk dalam APBNP 2012. Pasalnya, dana subsidi listrik yang disetujui DPR dan pemerintah sebesar Rp65 triliun tidak cukup menutup tingginya harga BBM.
"Untuk operasional (subsidi Rp65 triliun) cukup dan ada sisa untuk bayar utang tetapi hanya bisa bayar sepertiga, makanya kita bilang enggak cukup untuk bayar utang, jadi tolong ditambah untuk bayar utang," ungkap Direktur Utama PLN Nur Pamuji ditemui di Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, Kamis (5/4/2012).
Sebenarnya siapa yang diuntungkan dari subsidi dan utang ini? 2011, atas nama solidaritas dan keprihatinan, PT Perusahaan Gas Negara pernah meminta pemerintah agar mengizinkan perusahaan kembali memenuhi komitmen suplai gas ke PT Perusahaan Listrik Negara. Satu tahun terakhir, perusahaan memangkas suplai ke PLN 100 juta metric standard cubic feet (mmscfd) dan mengalihkannya ke PT Chevron Pacific Indonesia, sesuai keinginan Jakarta.
Seperti PLN, Perusahaan Gas adalah perusahaan negara, pemilik dan pengelola jaringan pipa gas 5.800 kilometer di seluruh Indonesia. Lewat kontrak pembelian gas jangka panjang, perusahaan mengalirkan gas dari berbagai ladang gas di Jawa dan Sumatera, lalu menyalurkannya ke pelanggan tetap perusahaan, utamanya kalangan industri. Pipa gas perusahaan membentang dari Medan hingga Jawa Barat, dari Sumatera Selatan hingga Singapura.
Per Desember 2009, pemerintah menguasai 56,98% saham Perusahaan Gas. Saham sisanya diperdagangkan di bursa efek. Asing menguasai 73% lebih saham perusahaan yang diperjualbelikan di bursa efek.
Kata Direktur Perusahaan Gas, Hendi P. Santoso waktu itu, izin pemerintah bakal meringankan beban PLN. “Jika 100 juta metric standard cubic feet (mmscfd) gas bisa dialirkan ke PLN, perusahaan bisa mengurangi pemakaian minyak diesel 727.000 kiloliter dan pemerintah bisa berhemat Rp 5,5 triliun tahun ini,” kata Hendi ke Komisi VII DPR, seperti dikutip The Jakarta Post.
Permintaan ‘mulia’ Perusahaan Gas ini mimpi buruk bagi Jakarta. Setahun terakhir, pemerintah memaksa perusahaan membelokkan suplai gas untuk PLN ke Chevron Pacific agar yang terakhir bisa menggenjot produksi minyak mentah – dan Jakarta mendapat tambahan devisa.
Chevron Pasific menyumbang 40% dari total produksi minyak nasional. Lebih dari seperempat total produksi minyak perusahaan, mencapai rata-rata 485.000 barel per hari pada 2009, berpusat dari ladang minyak Duri di Riau.
Minyak Duri yang terbaik kualitasnya di Indonesia, harganya paling tinggi dan kerap menjadi acuan harga minyak mentah dalam negeri.
Di Duri sejak 1985, Chevron Pasific menggunakan teknologi steamflood. Gas bertekanan tinggi disemprotkan ke perut bumi demi memancing minyak mentah. Perusahaan berdalih teknologi ini – penggunannya di Duri terbesar di seluruh dunia – pas dengan ‘kondisi’ minyak di perut bumi Duri, ketimbang teknologi pengeboran menggunakan air (lebih murah) atau penyuntikan bahan kimia (jauh lebih mahal).
Pada 2009, teknologi injeksi gas digunakan pada 80% sumur minyak di Duri.
Chevron Pasific sejauh ini mengandalkan suplai gas dari Grissik, ladang gas di Sumatera Selatan yang dioperasikan oleh ConocoPhillips Indonesia, anak perusahaan raksasa perminyakan Amerika, ConocoPhillips. Di luar untuk kepentingan pengeboran, Chevron Pasific juga menggunakan gas dari ConocoPhillips untuk pembangkit listrik sendiri.
Gas dari Grissik itu dialirkan dalam jaringan pipa gas 536 kilometer hingga ke Duri. Pemilik dan pengelola jaringan pipa gas Grissik-Duri adalah PT Transportasi Gas Indonesia, anak Perusahaan Gas.
Ada cerita lain di sini, sebenarnya. Pada 1995, Perusahaan Gas mengambil utang US$ 218 juta dari konsorsium ADB, Japan Bank for International Cooperation, dan European Investment Bank. Perusahaan menggunakan utang itu untuk pembangunan jalur pipa gas Grissik-Duri dan satu lagi jalur pipa gas Grissik-Batam.
Tapi utang itu – meski nilanya tak seberapa besar – punya syarat yang membunuh. ADB mengharuskan Perusahaan Gas mengubah status hukum dari perusahaan milik negara menjadi perusahaan terbatas. ADB juga mewajibkan Perusahaan Gas membuat anak perusahaan di mana investor asing boleh menguasai 20%-40% saham.
Pada 1996, Perusahaan Gas mengubah status hukum dan mengucurlah pinjaman dari konsorsium ADB. Dua tahun setelahnya, pada 1998, perusahaan merampungkan pembangunan jalur Grissik-Duri. Pembangunan jalur pipa Grissik-Batam belakangan berhenti karena krisis moneter.
Perusahaan Gas lalu meminta perpanjangan tempo dengan menjanjikan pembangunan jalur pipa hingga Singapura. Konsorsium ADB setuju dan, sebagai konsekuensi dari perjanjian, pada 2002, Perusahaan Gas resmi menjual 40% sahamnya di Transportasi Gas ke Transasia Pipeline Company Pvt. Ltd.
Transasia Pipeline adalah patungan empat perusahaan asing: ConocoPhillips Indonesia (35%), Singapore Petroleum Company Limited (15%), Talisman Energy (15%) dan Petronas (35%).
Lepas penjualan itu, saham Perusahaan Gas di Transportasi Gas tersisa 59,87%. Saham lebihnya, 0,13% milik yayasan pegawai Perusahaan Gas.
Kembali ke soal suplai gas ke Duri. Pada Februari 2010, pemerintah meminta Perusahaan Gas mengalihkan suplai gas yang semestinya ke PLN ke Chevron di Duri. Pemerintah berdalih kebijakan itu untuk membantu Chevron menggenjot produksi dan pada gilirannya memperbesar peluang penerimaan devisa negara.
Keputusan ini kabar baik bagi Chevron Pacific yang menikmati gas murah, jauh di bawah harga ekspor. Tapi bagi PLN, keputusan Jakarta itu tak ubahnya sembilu. Sejak pengalihan gas ke Chevron Pacific, PLN praktis berdarah-darah. Perusahaan harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembelian minyak diesel yang harganya terus melambung.
Pemerintah jelas terus terjepit. Di satu sisi, tawaran Perusahaan Gas membuka peluang penghematan Rp 5,5 triliun. (Angka yang besar bila mengingat dari rencana penghentian penjualan bensin bersubsidi, pemerintah ‘hanya’ menargetkan penghematan subsidi Rp 3,8 triliun). Di sisi lain, penawaran itu menghidupkan bayang-bayang susutnya devisa.
Ada pilihan lain, sebenarnya, dan ini relatif lebih ‘adil’. Alternatif termasuk membiarkan Chevron Pacific mencari sendiri suplai gas dari berbagai ladang gas di Sumatera. Gas banyak, persoalannya tinggal kemauan Chevron Pacific. Perusahaan menolak gagasan itu karena masih berharap Jakarta memberi fasilitas berupa ‘gas murah’ Perusahaan Negara untuk PLN.
Tapi, dalam sebuah laporan berita yang dirilis oleh detikFinance dikatakan, dalam 12 tahun ke depan cadangan minyak Indonesia bakal ludes alias habis. Saat ini ternyata jumlah cadangan minyak tinggal 4 miliar barel. Hal ini disampaikan oleh Wakil Direktur Reform Miner Institute, Komaidi Notonegoro, Kamis (5/4/2012).
"Cadangan (terbukti) minyak kita tinggal 4,3 miliar barel. Dan itu akan habis dalam 10-12 tahun mendatang," tegas Komaidi.
Menyikapi masalah ini, Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) Gde Pradnyana mengatakan, cadangan minyak defisit karena lebih banyak yang disedot ketimbang penemuan cadangan baru.
"Di 2010, angka cadangan minyak kita itu 4,3 miliar barel dan kita sedot tiap tahun 330 juta barel (900 ribu-1 juta barel per hari). Maka di 2011 cadangan kita terbukti tinggal 4 miliar barel," ujar Gde,Sabtu (6/4/2012).
Selamat untuk Chevron Pacific, sebentar lagi kalian pasti hengkang dari Indonesia setelah puas menyedot habis semua energi di perut bumi Indonesia. Dan beginilah "hebatnya" saat pejabat pemerintah membuta hati pada kemampuan dan kehebatan anak-anak bangsa. Pada kian banyaknya aset vital dan menguntungkan negara yang digadaikan ke tangan gergasi asing.
sumber
loading...