Wayang, mungkin tidak asing lagi di telinga kita. kebudayaan asli Indonesia yang merupakan ciptaan dari waliyullah Sunan Kalijaga. wayang diciptakan Sunan Kalijaga sebagai metode dakwah islam agar dekat dengan kehidupan masyarakat terdahulu.
Berikut ini saya akan menampilkan beberapa sosok wayang yang mungkin banyak dikenal oleh masyarakat indonesia.
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
4. Bagong
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
sumber
Berikut ini saya akan menampilkan beberapa sosok wayang yang mungkin banyak dikenal oleh masyarakat indonesia.
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
sumber
loading...