Banyak orang berpikir kreatif ketika berhadapan dengan masalah.
Berangkat dari kesulitan mencari modal untuk memperluas kebun ubi jalar
di kampungnya, di Baso, Agam, Sumatera Barat (Sumbar), Masril Koto
bertekad membuat bank petani.
Bank inilah yang kemudian mengantarkan pria asli Minang itu memenangi berbagai penghargaan sebagai social entrepreneur. Dengan semangat dan ketekunan, Masril membangun lebih dari 900 bank petani berbentuk lembaga keuangan mikro-agribisnis (LKMA) di seluruh Indonesia. Sistem bank ini juga diadopsi oleh pemerintah dan menjadi cikal bakal Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan Nasional.
Seperti sebagian pria Minang lain, Masril muda merantau ke Jakarta pada
1994. Seorang teman ibunya mengajak Masril, saat itu buruh di Pasar
Padang Luar, Bukittinggi, membantunya di usaha percetakan di Jakarta.
Tak cuma memproduksi kantong, karena lokasinya dekat dengan kampus
Trisakti di Cempaka Putih, pemilik percetakan juga berbisnis jasa
fotokopi.
Masril yang hanya tamat kelas 4 SD ini ikut membaca materi-materi
kuliah. Pria kelahiran 13 Mei 1974 ini juga belajar berorganisasi dari
para mahasiswa. Tempat Masril bekerja menjadi tempat berkumpul para
perantau asal Sumbar. "Di Jakarta, saya belajar berorganisasi," ujar
Masril.
Setelah empat tahun di Ibu Kota, Masril pulang ke Agam. "Saya tidak
tahan melihat kekerasan yang terjadi di saat krisis," kenang Masril.
Setibanya di kampung, dia terkejut mendapati pemuda di kampungnya mulai
terkotak-kotak. Ada kelompok perantau dan pemuda yang belum pernah
merantau. Melihat kondisi itu, Masril merangkul para remaja untuk
bergotong royong membangun lapangan basket. Lapangan ini yang akhirnya
menjadi tempat berkumpul para pemuda di kampung Masril. Di situ pula
terbentuk organisasi kepemudaan Karang Taruna di kampungnya, Banu Hampu.
Supaya bisa mendanai berbagai kegiatan organisasi, Masril berinisiatif
membangun ruko di tanah desa yang akan menjadi milik para pemuda.
"Kebetulan ada jalan baru di depan ruko," tutur Masril.
Untuk membangun enam ruko, Masril berutang ke toko bangunan. Selama dua
tahun, uang sewa dari lima ruko dibayarkan ke toko bahan bangunan.
Sementara, uang sewa satu ruko sisanya menjadi milik organisasi pemuda
di sana yang akhirnya berkembang menjadi Yayasan Amai Setia.
Diundang Bank Indonesia
Masril menikah dengan Ade Suryani yang berasal dari kecamatan berbeda di
Agam. Masril mengikuti keluarga istrinya di Nagari Koto Tinggi, Baso.
Kembali, Masril menemui berbagai masalah. Satu yang paling mencuri
perhatiannya adalah masalah modal memperluas kebun.
Setelah melalui serangkaian diskusi, baik dengan petani maupun instansi
pemerintahan terkait, para petani ubi jalar di Baso ingin adanya sebuah
bank petani. Masril kembali tampil. "Saya merasa punya talenta
berorganisasi," kata dia.
Demi merintis bank petani, Masril keluar masuk bank di Padang. Ia
menanyakan cara-cara mendirikan bank, tetapi ia tak pernah mendapat
jawaban memuaskan. "Sepertinya kami tak mungkin membuat bank sendiri,"
ujar dia.
Tak patah semangat, Masril terus berkonsultasi dengan Dinas Pertanian di
kabupatennya. Hingga suatu ketika, ada sebuah pelatihan akuntansi yang
diselenggarakan untuk kelompok tani tersebut. Masril pun mendapat
kesempatan berkenalan dengan pegawai Bank Indonesia (BI). Merasa bertemu
orang yang tepat, dia bertanya segala sesuatu tentang seluk-beluk
pendirian bank. Masril pun diundang datang ke kantor BI.
"Sekitar 2005, saya baru datang ke BI. Pengalaman pertama saya datang ke gedung perkantoran di kota," ujar dia.
Berbekal penjelasan dari BI, Masril dan para petani segera menyusun
rencana membuat bank petani. Dia mengumpulkan modal dari para petani,
dengan cara menjual saham, senilai Rp 100.000 per saham. Dari 200 petani
di Baso, terkumpul modal Rp 15 juta. Setelah empat tahun melewati
perjuangan melelahkan, baru pada awal 2006, bank yang dikelola lima
pengurus ini mulai beroperasi. Masril pun ditunjuk sebagai ketua.
Dalam hitungan hari, seluruh modal terserap habis menjadi kredit. Masril
kembali bingung karena tak ada uang yang mengendap. Dari situ, dia
lantas berpikir perlunya iuran pokok bagi nasabah yang dibayar setahun
sekali untuk biaya operasional. Masril juga membuat beberapa produk
tabungan, sesuai dengan kebutuhan petani, seperti tabungan pupuk. Oh,
iya, agar meyakinkan, Masril yang paham produk percetakan membuat saham
dan buku-buku tabungan dan catatan kredit seperti bank pada umumnya.
Keberhasilan bank petani ini segera tersebar luas. Banyak organisasi
masyarakat datang ke bank petani ini untuk melakukan studi banding.
Bahkan, dalam kunjungannya meninjau gempa di Padang pada 2007, beberapa
menteri mampir ke bank petani yang kemudian berubah nama menjadi LKM
Prima Tani ini.
Sayang, lantaran tak lagi sepaham dengan visi yang diemban para pengurus
LKM, Masril keluar pada 2009. Saat itu aset sudah mencapai Rp 150 juta.
"Saya ingin menularkan keberhasilan ini untuk petani lainnya," tutur
dia.
Mulailah Masril berjuang seorang diri menjadi relawan. Ditemani sepeda
motor kesayangan, dia memperkenalkan konsep LKM agribisnis ini ke
kelompok-kelompok petani di Sumatera Barat, tanpa bayaran sepeser pun.
"Mereka hanya mengisi bahan bakar sepeda motor saya," kata Masril.
Pada 2010, seorang warga Jepang menemuinya dan meminta Masril membantu
membuat LKM agribisnis untuk 2.000 petani di Sumbar. Ini merupakan
pencapaian besar karena rata-rata kelompok tani yang ia kelola hanya
setingkat desa, terdiri dari 200 petani. Namanya pun kian berkibar
sebagai pencetus bank petani.
Tak berhenti di Sumbar, Masril juga menularkan konsep bank petani ini ke
seluruh daerah di Indonesia. "Saya ingin mengajak petani berdaulat
secara pangan dan ekonomi di desanya," katanya.
Kini, ada sekitar 900 LMK yang telah dibentuk Masril, dengan aset mulai
dari Rp 300 juta hingga Rp 4 miliar per LMK. Dia menaksir, total
kelolaan dana LKMA secara keseluruhan mencapai Rp 90 miliar dengan 1.500
tenaga kerja yang merupakan anak petani.
sumber
loading...