Dua hari lalu, saya memposting foto Pak Anwar, pejuang terbuang yang
salah satu fotonya pernah menjadi bahan olok-olokan sebagian pengguna
sosial media. Anwar, mantan seorang komandan kompi berpangkat Letnan
yang pernah menghadapi Jepang, Inggris dan Belanda di Sumatera Selatan.
Saat melakukan penyusupan ke Payakumbuh, ia tertangkap Belanda dan mengalami siksaan berat di penjara Padang (dipukuli dan disuruh minum air kencing). Riwayatnya sempat terangkat pada 2008, saar seorang wartawan dari koran PosMetro mengisahkan nasib sang pejuang yang untuk bertahan hidup terpaksa harus menjadi seorang pengemis di Kawasan Simpang Potong, Kota Padang.
Saya selalu tak bisa melewatkan berita-berita menyedihkan seperti ini. Kendati fenomena mantan pejuang yang jadi pengemis kerap saya temui selama saya melakukan riset pribadi soal Perang Kemerdekaan 1945-1949, namun soal ini tak urung membuat hati saya terganggu.
Saya lantas meminta tolong kepada Mikel, seorang anak muda yang memiliki satu pola pikir dan semangat dengan saya dan tinggal di Padang, untuk menelusuri jejak-jejak sang pejuang itu. Senin siang (13 Januari 2014), selama berjam-jam Mikel mengaduk-aduk kawasan Koto Baru, Lubuk Bagaluang.
Tiap jam, kami berkoordinasi lewat ponsel. "Bang, aku sudah lewati semua jalan di sini, tapi aku belum temukan,"ujarnya saat hari menjelang senja.
"Ya sudah Mik, kamu pulang saja, ga usah dipaksakan. Nanti kalau kamu ada waktu lagi bisa dicari lagi, atau aku nanti ke Padang dan kita bisa cari bersama-sama,"ujar saya.
Namun beberapa menit kemudian, saya mendapat sms dari dia: "Bang, aku sudah temukan tempat Pak Anwar!" Sayang, Mikel tidak bertemu dengan Pak Anwar sendiri.
Ia hanya bertemu dengan orang-orang baik yang selama ini menampung Pak Anwar. Ia kemudian diantar oleh mereka ke Bukik Lantiak, tempat Pak Anwar dikebumikan pada 12 April 2011. "Ia tak pernah menginginkan apa-apa.
Bintang jasa, dana pensiun atau apapun yang terkait dengan segala hal yang sudah diperjuangkannya. Ia bilang, sejak pertama kali angkat senjata, ia tak pernah memikirkan apa-apa dan tak peduli ia akan disebut apa.
Di masa-masa tuanya, ia hanya perlu sesuap nasi untuk makan saja. Tak lebih," ujar Shaly (55), perempuan yang menampung Pak Anwar di hari-hari tuanya.
Kegilaan apa lagi yang akan dilakukan bangsa ini terhadap para pejuangnya? (hendijo)
foto: PosMetro dan Mikel
Credit: Hendri Jo
Sumber
Saat melakukan penyusupan ke Payakumbuh, ia tertangkap Belanda dan mengalami siksaan berat di penjara Padang (dipukuli dan disuruh minum air kencing). Riwayatnya sempat terangkat pada 2008, saar seorang wartawan dari koran PosMetro mengisahkan nasib sang pejuang yang untuk bertahan hidup terpaksa harus menjadi seorang pengemis di Kawasan Simpang Potong, Kota Padang.
Saya selalu tak bisa melewatkan berita-berita menyedihkan seperti ini. Kendati fenomena mantan pejuang yang jadi pengemis kerap saya temui selama saya melakukan riset pribadi soal Perang Kemerdekaan 1945-1949, namun soal ini tak urung membuat hati saya terganggu.
Saya lantas meminta tolong kepada Mikel, seorang anak muda yang memiliki satu pola pikir dan semangat dengan saya dan tinggal di Padang, untuk menelusuri jejak-jejak sang pejuang itu. Senin siang (13 Januari 2014), selama berjam-jam Mikel mengaduk-aduk kawasan Koto Baru, Lubuk Bagaluang.
Tiap jam, kami berkoordinasi lewat ponsel. "Bang, aku sudah lewati semua jalan di sini, tapi aku belum temukan,"ujarnya saat hari menjelang senja.
"Ya sudah Mik, kamu pulang saja, ga usah dipaksakan. Nanti kalau kamu ada waktu lagi bisa dicari lagi, atau aku nanti ke Padang dan kita bisa cari bersama-sama,"ujar saya.
Namun beberapa menit kemudian, saya mendapat sms dari dia: "Bang, aku sudah temukan tempat Pak Anwar!" Sayang, Mikel tidak bertemu dengan Pak Anwar sendiri.
Ia hanya bertemu dengan orang-orang baik yang selama ini menampung Pak Anwar. Ia kemudian diantar oleh mereka ke Bukik Lantiak, tempat Pak Anwar dikebumikan pada 12 April 2011. "Ia tak pernah menginginkan apa-apa.
Bintang jasa, dana pensiun atau apapun yang terkait dengan segala hal yang sudah diperjuangkannya. Ia bilang, sejak pertama kali angkat senjata, ia tak pernah memikirkan apa-apa dan tak peduli ia akan disebut apa.
Di masa-masa tuanya, ia hanya perlu sesuap nasi untuk makan saja. Tak lebih," ujar Shaly (55), perempuan yang menampung Pak Anwar di hari-hari tuanya.
Kegilaan apa lagi yang akan dilakukan bangsa ini terhadap para pejuangnya? (hendijo)
foto: PosMetro dan Mikel
Credit: Hendri Jo
Sumber
loading...