Please enable / Bitte aktiviere JavaScript!
Veuillez activer / Por favor activa el Javascript![ ? ]

Cara Menemukan Jati Diri



Sering kita mendengar istilah mencari jati diri, kehilangan jati diri, atau paduan suku kata lain yang bermakna hampir sama. Obrolan dua hari yang lalu bersama seorang kawan belum menemukan titik temu arti sesungguhnya, alasannya yakni pada balasannya beliau berkata belum memahami betul apa itu sejatinya jati diri, diri yang mana, dan wujudnya ibarat apa. Ditambah dengan penambahan kata mencari atau kehilangan, kian menyebabkan kerancuan pemikiran kami, lalu timbullah pertanyaan, benarkah jati diri itu dicari atau ditemukan? Dan jati diri yang ibarat apa sehingga bisa dikatakan hilang?

Baiklah, lewat beberapa coretan kedepan saya bersama pemikiran seadanya akan berusaha mengurai apa yang sempat terlintas di benak ini. Agar lebih paham, mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata jati diri yakni ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda, bisa pula berarti identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam atau spiritualitas. Nah, berkaca dari pengertian ini dirasa ada keambiguan seseorang dalam memaknai kata jati diri selama ini. Kalimat mencari jati diri akan terkesan rancu bila dicermati dan kali ini saya dan sahabat saya sepakat mengiyakannya. Bagaimana tidak rancu, bukankah jati diri itu ada dalam diri? Kenapa musti dicari? Malah saya sempat berpikir bahwa sebenarnya jati diri tak pernah hilang. Bila orang berkata hilang, saya pikir tidak. Karena, biar bagaimanapun dalam diri seseorang pasti ada sesuatu yang berbeda dari orang lain dan itu pun tidak akan pernah bisa tercuri atau hilang. Biar lebih mudah kita bisa ambil referensi air, mau dicampur atau diberi pewarna apapun sifat zat cairnya akan tetap ada. Berubah ibarat apa air akan tetap dikatakan air, walau dalam wujud comberan sekalipun.

Begitu pula dengan diri kita. Janganlah merasa pesimis ihwal kelabilan yang dikira masih dalam pencarian jati diri. Diri ada bukan untuk dicari. Sebetulnya ia telah tertanam dalam diri, tinggal membongkarnya saja. Andaikata memang kesulitan, seseorang tersebut belum menyadari, ditambah dengan kesibukan melihat sekitar atau orang lain malah terlupalah sejatinya diri. Menganggap orang lain lebih andal dan lebih cocok menjadi panutan lambat laun dengan  ketertarikan tersebut akan menimbun ke’aku’ annya. Terkuburlah sosok beliau yang sebenarnya dan terganti oleh sosok gres atau cermin lain. Maka tak heran ada beberapa orang yang begitu gila dengan dirinya sendiri dan muncullah kalimat ‘siapa aku?’ atau who am i? yang dikiranya beliau sedang kehilangan jati diri, padahal tidak. Jati dirinya ada, cuma masih tertimbun oleh tumpukan obsesi dan tekanan ketidakpercayaan diri. Semisal, sering kita melihat seseorang berpenampilan layaknya idola yang mereka gemari. Mulai dari gaya rambut, pakaian yang beliau kenakan, hingga gaya bicara pun persis. Dengan begitu, kita menjadi kesulitan melihat sosok beliau yang sebenarnya. Tidak bisa dikatakan beliau sedang kehilangan jati diri, terkontaminasi barangkali iya.

Akhir obrolan dengan kawan, saya melontarkan satu kata kunci ‘proses’. Untuk menonjolkan jati diri sejatinya membutuhkan proses. Kembali lagi ke pengertian yakni adanya identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak ternyata ada bukan berjalan dengan sendirinya. Terbentuknya jati diri yang berpengaruh pastilah terlebih dahulu ditempa oleh aneka macam pilihan serta problematika dalam perjalanan hidupnya. Pilihan untuk mengikuti anutan atau tetap mempertahankan kenyamanannya. Bila beliau mengikuti anutan bisa jadi beliau akan terbawa arus dan lupa pada tujuan serta dirinya sendiri. Kemudian muncullah golongan orang-orang alay, lebay, epigon, dan lain sebagainya. Atau beliau akan tetap mempertahankan ke’aku’annya. Walaupun ini baik, bila perlakuannya berlebihan maka akan negatif juga alasannya yakni bisa memunculkan orang-orang yang bersifat egois atau diktator. Idealnya, kita tetap pada kedirian dan prinsip, namun jangan melupakan keterbukaan. Jangan melupakan bahwa kita yakni makhluk sosial yang berteman dengan segala macam perbedaan.

Sebaiknya, jangan hingga kita menyiksa diri sendiri untuk mengikuti orang lain. Apa salahnya menjadi berbeda, toh itu nantinya tidak akan mengurangi kualitas diri. Banyak orang beranggapan bahwa penampilan fisik yakni segala-galanya dan merupakan adegan dari jati diri. Saya pikir tidak, justru, apa yang terbungkus dalam fisik itulah diri kita sebenarnya. Jadi, jangan lama-lama kita mau dikecoh persepsi bahwa jati diri bisa nampak terperinci oleh mata melalui bungkus luar. Jangan terlalu lama pula kita bersolek hanya membenahi cover saja, hingga melupakan ketahanan spiritual yang memprihatinkan. Diri ada di dalam, kekuatan ada di jiwa, selamat berproses untuk mempertahankan dan menguatkannya…!

Banyak orang yang tidak mengenal jati diri sendiri, sehingga membuat mereka sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang patut dan tidak patut untuk dilakukan oleh mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Alasan inilah yang membuat kita perlu mengetahui bagaimana cara menemukan jati diri sendiri, sehingga kita tidak mudah untuk terpengaruh dengan orang lain disekitar kita.

Pengertian Jati Diri
Sebagian orang berpendapat bahwa arti jati diri yakni suatu manifestasi ideologi hidup seseorang. Jati diri sendiri merupakan adegan dari sifat seseorang yang muncul dengan sendirinya mulai dari kecil, kemudian sifat bawaan kadang juga terpengaruh dengan faktor lingkungan daerah seseorang hidup dan dibesarkan.

Kita tentu sudah tidak gila mendengar istilah seorang anak yang sedang mencari jati diri, hal ini sering terungkap alasannya yakni dalam proses pembentukan huruf yang sebenarnya pada diri seseorang yakni pada masa pancaroba, yaitu masa peralihan dari bawah umur menuju dewasa.

Cara Menemukan Jati Diri
Dari pengertian jati diri yang sudah dipaparkan diatas, bergotong-royong jati diri itu sendiri merupakan suatu manifestasi ideologi hidup seseorang, sehingga bagaiaman cara menemukan jati diri sendiri itu juga merupakan hak mutlak bagi seorang individu untuk menentukan jati dirinya sendiri.

Ketika seseorang yang telah dapat memahami akan kemampuan dan kekuatan pada dirinya yang didasari dengan kepercayaan dan taqwa pada Tuhan, maka dikala itulah seseorang sudah dapat dikatakan menemukan jati dirinya sendiri.

Seseorang, disaat mengalami suatu persoalan sering merasa kebingungan bagaimana cara menyelesaikannya. Dan dari sini kemudian akan berkembang menjadi persoalan lain yang menyebabkan seseorang menderita, susah, dan lain-lain. Hal ini bisa terjadi, dikarenakan tidak pernah menyadari, bahwa setiap insan hidup didunia, mau tidak mau, suka maupun tidak,  tidak akan pernah lepas dari permasalahan. Walaupun didalam setiap doa yang disampaikan pada Tuhan, selalu meminta biar dilepaskan dari permasalahan. Padahal, sebagaimana yang pernah saya tuliskan jauh sebelumnya, bahwa insan hidup didunia ini yakni sementara. Disamping itu, alam dunia ini bukan merupakan alam insan yang sebenarnya, jadi kita harus selalu siap untuk menerima persoalan yang beraneka ragam. Jika kita tidak pernah memperhatikan, maka kita sebagai insan akan selalu mengalami penderitaan disaat persoalan telah menerpa kita.
Untuk itu, sebagai langkah awal, lewat goresan pena ini saya mencoba untuk mengurai terhadap permasalahan hidup insan yang tidak akan lepas dari munculnya suatu warna perasaan disaat permasalahan itu timbul.

Dan, biar tidak terlambat didalam antisipasi, diharapkan suatu pemikiran dan perenungan pada setiap persoalan yang timbul didalam kehidupan kita sehari-harinya. Apa yang harus dipikirkan, dan direnungkan?  Yaitu, segala sesuatu yang terjadi pada hari ini, dan kemudian dicocokkan dengan apa yang telah terjadi pada hari-hari sebelumnya, khususnya terhadap segala perasaan yang timbul jawaban adanya permasalahan yang kita alami. Contoh ; disaat kita  selesai marah, pikirkan dan renungkan kenapa tadi kita marah, bisakah untuk selanjutnya tidak marah lagi bila ada permasalahan yang sejenis?

Begitu pula, disaat kita selesai mengalami kesedihan, penderitaan dan lain-lain. Bisakah kita untuk tidak mengalami hal yang sama disaat perasaan itu akan timbul kembali? Adapun caranya tidak ada lain, kecuali hanya dengan berpikir, apakah jikalau perasaan itu muncul, adakah keuntungan yang kita dapatkan? Bila ternyata tidak ada, lantas untuk apa kita marah dan kita bersedih? Hal ini bisa menjadi materi perenungan, disaat masalahnya telah berlalu. Sebab pada dikala kita marah, kita bersedih, tentu hati kita akan jadi gelap, sehingga kita tidak akan bisa menerima jalan keluar yang terbaik. Makanya dikala kita bersedih, menderita, marah dan lain-lain, jangan sekali-kali mengambil suatu keputusan apapun. Lebih baik lanjutkan dahulu perasaan yang muncul pada kita. Bahkan, dalam keadaan bahagia yang melampaui batas, juga tidak diperkenankan mengambil suatu keputusan apapun. Khususnya, yang menyangkut segala sesuatu yang belum terjadi. Sebab, keputusan yang ada, akan menghipnotis pada tindakan yang akan diambil, yang biasanya akan membuat kerugian pada diri sendiri.

Jadi, dengan adanya permasalahan-permasalahan pada diri kita, bisa menerima pengalaman didalam perkembangan jiwa. Tetapi, yang sering terjadi, jikalau permasalahan itu timbul, khususnya perasaan marah masih sering membekas, bahkan bisa pula berakibat dendam pada seseorang.

Selanjutnya, sebagai langkah yang kedua,  disaat  berdoa, kurangilah segala hal yang secara tidak kita sadari menyuruh Tuhan untuk bekerja. Walaupun kelihatannya memohon secara halus, akan tetapi hal itu menunjukkan, bahwa kita yang menjadi Tuhan, dan memerintah Tuhan biar bekerja untuk kita. Contoh : Ya Yang Mahakuasa mudahkan rejeki bagi kami, limpahkan rejeki, berilah kenikmatan pada kami, lapangkan dada kami masukkan kami kedalam surga. Bimbinglah kami, dan lain-lain. Menurut hemat saya, mestinya disaat berdoa harus yang mengandung arti bahwa kita yang bekerja, bukan Tuhan. Contoh doa yang benar adalah” Ya Allah, petunjuk apa yang harus saya laksanakan biar rejeki ku lancar”. Ya Yang Mahakuasa Apa yang harus saya lakukan biar saya bisa masuk surga, ibarat mereka-mereka yang masuk surga? Ya Allah, apa yang harus saya lakukan supaya saya semakin akrab denganMu dan jauh dari kesesatan?  dan sebagainya, tergantung konteks doa apa yang kita kehendaki.  Ini hanya sekedar contoh, bagi mereka yang belum mengenal jati diri. Adapun bagi mereka yang telah mengenal jati diri, saya yakin bahwa mereka disaat berdoa, tidak akan pernah menggunakan kata-kata, melainkan cukup dengan suatu perbuatan untuk mencapai sesuatu. Namun, bila hal ini tidak saya tulis, lantas hingga kapan kita akan berhenti menyuruh Tuhan terus menerus? Sampai kapan kita akan remaja dan mandiri?  Dan hingga kapan kita bisa benar-benar berbakti kepada Tuhan?

Kesimpulannya, dengan langkah doa yang saya sebutkan diatas, kita akan tertuntun untuk selalu bekerja sesuai dengan petunjuk Tuhan, bukan malah sebaliknya kita yang memerintah Tuhan untuk bekerja. Walaupun cara doa ibarat yang lazim kita pergunakan itu yakni sah-sah saja. Akan tetapi, apabila doa ibarat itu berkelanjutan terus menerus akan membuat kita malas untuk berusaha dan bekerja, serta akan pula kecanduan untuk menyuruh orang lain mengerjakan apa yang menjadi kesulitan kita. Sementara kita, hanya tinggal ongkang-ongkang kaki saja, dan tinggal memakainya. Bukankah dikala ini kita sering hanya sebagai pendengar, penonton, dan juga pemakai belaka? Dan jarang sekali yang sebagai pelaku sejarah, kendatipun itu hanya sejarahnya sendiri. Amat ironis sekali. Namun diantara kita masih belum menyadari, sehingga doa ibarat yang menurut kita lazim, dan memang ada pedomannya, tetap saja dilakukan. Dengan adanya cara, dan redaksi doa yang masih ibarat itu, akan membuat kita kebiasaan menyuruh orang lain. Atau setidak-tidaknya kita akan berlomba-lomba untuk menggunakan segala cara, bagaimana bisa selalu menyuruh orang lain terhadap kepentingan kita. Dengan demikian yang perlu saya pertanyakan dimanakah unsur kebaktian kita kepada Tuhan? Dan apakah kebaktian dan ibadah itu memang harus menyuruh Tuhan? Sehingga, semakin sering kita menyuruh Tuhan lantas kita dikatakan beriman kepada Tuhan?

Sebagai langkah yang ketiga atau terakhir, janganlah sekali-kali kita makan, minum atau lain-lain, yang sekiranya kita tidak benar-benar membutuhkan. Juga, jangan seringkali memikirkan segala sesuatu yang telah berlalu, walaupun itu pahit atau senang. Tetapi selalu melangkahlah kedepan biar kita tidak selalu terganjal oleh masa lalu. Dan sering-seringlah berlatih untuk bertanya pada dirinya sendiri apa yang harus dilakukan, sembari membaca, memperhatikan, berpikir, dan merenung, bahwa segala sesuatu yang terjadi, akan terjadi,  yakni merupakan variabel yang memang harus dilalui serta diketahui oleh Tuhan yang telah menciptakan kita beserta alam seisinya ini. Bahkan segala sesuatu yang tidak mungkin terjadi, bisa saja terjadi. Sehingga dengan begitu, apabila kita selalu berlatih untuk mengajak diskusi dengan diri sendiri, diharapkan “jati diri“kita akan muncul dengan sendirinya. Bahkan, kalau sudah terbiasa, kita akan sering mendengar bunyi kita sendiri, atau melihat diri kita sendiri. Karena sesungguhnya itulah yang benar. Dan, beliau itulah yang selama ini melihat dan mendengar, kendati tanpa mata dan telinga, ibarat apa yang pernah saya tulis terdahulu, yakni “mendengar warna dan melihat suara”.

Jati Diri dalam Pandangan Islam
JATI DIRI itu ihwal tujuan final kita menghadap Yang Mahakuasa SWT. Sebab JATI DIRI itu wajah batiniah kita. Wajah Ukhrawi kita. Seperti apakah wajah kita di hari final zaman kelak masih manusiakah atau berbentuk binatang. Krn umumnya kita belum bisa melihat secara kasat mata.Mungkin nanti dikala menghembuskan nafas yg terakhir. Disitu kita akan terbelalak spt di dlm firman ALLAH SWT: QS.Qaf (55):22

"Maka kami singkapkan tirai yg menutup matamu dan tiba-tiba matamu hari ini menjadi amat tajam"
Didalam hadist RASULULLAH SAW yg dikutip dari tafsir Majma Al-Bayan 10:43 yg mengisahkan bagaimana wujud insan pd hari final zaman kelak.
Pd suatu hari Muadz bin Jabal duduk di akrab Nabi SAW di rumah Ayub Al-Anshari. Muadz bertanya :
"Ya Rasulullah SAW apa yg dimaksud dengan ayat pd hari ditiupkan sangsakala dan kalian datang bergolong-golongan?"
Di dalam QS.An-Naba (78):18
Rasulullah SAW menjawab:
"Hai Muadz,kamu telah bertanya ttg sesuatu yg berat. Umatku akan dibangkitkan dalam 10 golongan. Yang Mahakuasa SWT memilah mereka dari kaum muslimin dan mengubah bentuk mereka sebagian berbentuk monyet,sebagian lagi berbentuk babi,sebagian lagi berjalan terbalik dg kaki di atas dan muka dibawah lalu diseret-seret,sebagian lagi buta merayap-rayap,sebagian lagi tuli bisu tdk bisa berpikir,sebagian lagi menjulurkan lidahnya yg mengeluarkan cairan menjijikan semua orang,sebagian lagi mempunyai kaki & tangan terpotong,sebagian lagi disalipkan pd tonggak-tonggak api,sebagian lagi punya anyir yg lebih menyengat dari bangkai,sebagian lagi memakai jubah ketat yang mengoyak-ngoyakan kulitnya".

Sehingga yg menentukan JATI DIRI kita sekarang & juga nanti yakni amal-amal kita selama di dunia. Dalam pandangan orang-orang shaleh, bentuk sejati/bentuk batin kita ini pun sudah tampak olehnya.

Imam Ja'far (Cucu Nabi SAW generasi.ke-5)pernah memperlihatkan kpd sahabatnya Abul Bashir dikala animo haji,betapa banyaknya binatang berputar-putar disekitar ka'bah(tawaf), sedangkan yg terlihat sebagai insan hanya sedikit sekali & itu pun tampak bagai kilatan cahaya.

Oleh karenanya jangan hingga kita kembali menghadap ALLAH SWT dlm keadaan binatang berbungkus manuasia.....Na'udzubillah.... Tentu kita juga ingin tahu sebelum nafas terakhir menghembuskan krn akan sia2 jikalau kita tahu sdh terakhir krn bila dlm bentuk insan kpn kita akan memperbaikinya krn sdh terlambat. Itu yg dimaksud JATI DIRI sbb amal-amal kita, apapun itu yg baik/yg buruk, semua berkembang menjadi mewujud dan  membentuk badan ukhrawi (wujud batiniah). Mudah-mudahan pencerahan ilmu yg tdk seberapa ini akan menjadi petunjuk jalan utk mengerti apa itu JATI DIRI.

loading...